Tiba-tiba saya tertarik untuk IKUT MEMBAGIKAN sebuah peristiwa, karena
kata pengarangnya ini mungkin ada kaitannya dengan seorang sahabat yang lahir di akhir
Desember 1991. inilah kutipan yang saya ambil :
Sekitar akhir tahun 1991 saya pernah menulis cerpen dengan judul De Javu. Itulah proses penulisan paling ajaib yang pernah saya alami. Cerpen itu saya tulis dengan tulisan tangan (karena waktu itu belum punya mesin tik dan komputer pun belum ada). Ide saya muncul dengan spontan, ide unik itu entah dari mana datangnya. Saya mulai menulis sekitar jam 7 malam, dan cerpen sekitar 10 halaman itu selesai sekitar jam 12 malam.
Cerpen itu berhasil saya tulis dalam waktu yang sangat singkat, ide demi ide mengalir lancar tanpa ada hambatan apapun, sejak awal kalimat hingga ending yang paling akhir.
Itulah untuk pertama kalinya (dan hingga hari ini belum pernah terulang), saya bisa menulis cerpen dengan sangat cepat, spontan dan lancar seperti itu. HINGGA HARI INI saya percaya, bahwa saat itu mood saya mencapai puncak tertinggi, sehingga proses penulisan cerpen saya bisa demikian lancar dan cepat. Ide demi ide yang muncul secara spontan, berhasil saya tulis saat itu juga, secara instan. Rasanya, baru kali itulah seumur hidup, saya bisa menulis cerpen dengan cara seperti itu. Baru kali itulah seumur hidup, mood saya dalam menulis mencapai puncak tertinggi, dan hingga hari ini belum pernah terulang lagi.
Ide cerita De Javu itu pu benar-benar aneh. Bukan dari pengalaman pribadi atau semacamnya, tapi murni HASIL IMAJINASI.
Cerpen itu bercerita tentang seorang anak yang dibawa oleh ibunya ke sebuah terminal bis. Lalu si anak ditinggal sendirian di situ. Ibunya janji untuk kembali beberapa menit lagi. Tapi sang ibu tak pernah kembali. Justru, si anak dihampiri oleh sepasang suami istri yang datang membawa mobil mewah. Dia mengajak si anak ikut dengannya.
Si anak menurut karena tak berdaya. Dia dibawa ke sebuah rumah yang
sangat mewah. Dia menjadi penghuni rumah itu, diangkat menjadi anak di
situ, dimanja dan disayang oleh keluarga di rumah itu.
Tapi si anak tak pernah bahagia. Dia benci pada keluarga barunya itu
karena baginya itu bukan keluarganya yang sebenarnya. Setiap hari dia
teringat pada ibunya. Ia rindu, ingin bertemu lagi dengan ibunya, tapi
ibunya seperti hilang ditelan bumi.
Suatu hari, sebuah kecelakaan menewaskan seluruh keluarga kaya itu. Tinggal si anak sendirian. Dia bahagia, merasa bebas dari sebuah penjara yang hanya bikin menderita. Lalu dia pun segera pergi, mencari ibunya.
Tapi dia tak tahu di mana ibunya berada. Di kota mana, di kecamatan apa, di kelurahan apa? Tak ada data apapun sebagia petunjuk yang bisa dia gunakan.
Si anak berjalan hanya mengikuti intuisi dan kata hati. Dia terus berjalan tak pernah henti.
Hingga suatu ketika, dia tiba di depan sebuah rumah yang sangat
sederhana. Rumah yang dindingnya dari kayu, berukuran kecil, dan
halamannya cukup luas, ditanami sayur-sayuran dan rumput taman.
Dia tak kenal rumah itu. Tapi saat melihat rumah itu, dia merasa
seperti mengalami DE JAVU. Dia merasa kenal dengan lingkungan sekitar.
Dia merasa itulah rumahnya yang sebenarnya, rumah tempat ia tinggal
ketika masih kecil.
Dia mengetuk pintu. Dari dalam rumah muncullah seorang wanita tua, menatapnya dengan heran. Lalu mereka berkenalan, dan singkat cerita si anak pun tahu bahwa itulah ibu yang dia cari selama ini.
Dipeluknya wanita tua itu dengan penuh cinta dan rindu. Tapi wanita itu berkata sambil menangis, “Kamu bukan anakku. Dulu aku mengantarmu ke stasiun bis, karena aku sudah berjanji pada keluarga kandungmu untuk mengantarmu ke tempat itu, dan mereka akan menjemputmu di situ. Dulu mereka menitipkanmu di rumah ini. Dan ketika mereka memintamu kembali, aku tak berdaya untuk menolak, karena kamu memang bukan anakku.”
* * *
Sayangnya, cerpen De Javu ini hilang tak berbekas. Kertasnya tak pernah saya temukan. Mungkin sudah masuk tong sampah.
Hari ini, saya tertarik untuk bercerita mengenai cerpen tersebut,
karena saya teringat pada seorang sahabat yang lahir di akhir tahun
1991. Apa mungkin cerpen De Javu ini ditulis tepat di momen kelahiran
sahabat saya tersebut? Entah kenapa, feeling saya mengatakan demikian!
Sebab selama beberapa bulan mengenal si sahabat ini, secara ajaib saya
merasakan bahwa ada “hubungan misterius” di antara kami. Entah hubungan
seperti apa, sampai saat ini saya belum tahu. Rahasia Allah Sungguh Maha
Besar!
NB: Saya sendiri seumur hidup merasa belum pernah mengalami De Javu.
Istilah De Javu dulu saya kenal pertama kali saat membaca buku Catatan
Si Roy karya Gola Gong. Dan setelah membaca buku itulah, cerpen De Javu
tersebut lahir.
Déjà vu adalah sebuah frasa Perancis yang
artinya secara harafiah adalah "pernah melihat" atau "pernah merasa".
Maksudnya adalah mengalami sesuatu pengalaman yang dirasakan pernah
dialami sebelumnya.
Kampung Makasar, 4 September 2013
Jonru
Disadur ulang melalui http://www.jonru.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar