Semua orang bilang, Murni perempuan yang beruntung. Arif, suaminya, seorang lelaki yang amat baik. Semuanya berbicara begitu, juga ibu-ibu di komplek sini. Dimana dan setiap saat, kala ibu-ibu itu berkumpul mereka selalu membicarakan tentang suami masing-masing, dan berkeluh-kesah mengatakan mereka tidak seberuntung, Murni.
Seorang ibu sambil memakan kue kecil bicara kepada Murni, “Bagaimana caranya kau bisa tahu kalau Arif jadi suamimu? Dia adalah lelaki yang sangat baik.”
Murni tersenyum rikuh.
Waktu dia gadis, Murni adalah gadis yang pemalu. Keluarganya menyangka dia tidak akan menikah. Waktu itu dia baru saja duduk di tingkat pertama sebuah perguruan tinggi, dan di sana dia berjumpa dengan Arif yang beberapa tingkat di atasnya. Ketika Arif melamar sebagai istrinya pada tahun berikutnya, dia menerima lamaran itu. Jadi tidak ada metode yang khusus untuk memilih seorang lelaki yang baik sebagai suami.
Sepulang kerja Arif lebih betah tinggal di rumah, bermain bersama anaknya. Semua tetangga di komplek ini sering bilang sangat sulit mencari lelaki seperti Arif, yang nyaris sempurna. Arif seorang lelaki yang punya garis bagus, dan posisinya tidak jelek di perusahaan ini. Sebagian dari dunia Murni adalah bersama Arif. Dia sangat terikat di sana. Beberapa tawaran kerja part time sering ditolaknya. Sepertinya, tanpa Arif, dia kehilangan keseimbangan.
Mungkin ini berlebih-lebihan. Beberapa teman dekatnya tidak pernah setuju dengan prinsipnya. Tapi, Murni merasa bahagia. Dunianya untuk Arif dan anak-anaknya. Di luar itu cuma gaung senyap, yang rasanya tidak pernah menyentuh. Yah, barangkali di sinilah dunianya yang paling pas. Setiap orang mesti punya dunia sendiri-sendiri. Kontaknya dengan dunia luar cuma lewat Arif. Lelaki ini amat mencintai dia. Dan pengetahuan ini membuat dia sangat puas.
Suatu senja yang bagus, Leni datang dengan banyak barang jualan.
“Saya sekarang coba-coba dagang, Murni, saya rasa ada gaun yang bagus buatmu. Saya kira kau pasti tambah cantik dengan gaun ini. Sesekali dandan seperti sekretaris, kan, tidak ada salahnya.”
Arif tertawa mendengar itu. Murni tampak ragu-ragu. Akhirnya Arif yang memilihkan sebuah gaun untuk Murni.
“Kamu, toh, tidak sering-sering datang kemari menawarkan daganganmu.” Kata Arif kepada Leni dengan tertawa.
“Mengapa tidak? Semua suami pasti senang istrinya jadi cantik, kan?”
Sepulang Leni, Arif berbicara kepada Murni, “Leni terlampau bijak. Untung dia bukan istri saya.”
Murni merasa sangat terpuji.
Diam-diam, kadang-kadang Murni memang tidak menyukai Leni. Tapi kadang dia merasa iba terhadap perempuan itu. Perkawinan Leni dengan suaminya retak. Terkadang retaknya perkawinan itu jadi argumentasi di komplek ini. Murni biasanya cuma diam saja. Dan para ibu itu akan bilang kepadanya, “Tak ada problem, kan, punya suami seperti Arif!”
Begitulah, sampai suatu saat para ibu di komplek ini piknik bersama tanpa suami-suami mereka. Ibu-ibu itu kelihatan sangat menikmati deburan ombak. Beberapa ibu berkata, “Betapa bahagianya dulu kala kita masih seorang gadis. Suami kadang bisa membosankan.” Kata yang lain, kelihatan ada koor setuju dengan pendapat itu.
Di tengah gelak tawa ibu-ibu itu, Murni merasa kehilangan keseimbangan. Hal itu tidak bisa dikatakan kepada yang lain. Baru dua hari di sini Murni seperti kehilangan Arif. Dia mencoba berkompensasi dengan lebih banyak berenang.
Ketika pulang ke rumah kembali, Murni merasa sebagai perempuan yang sangat bahagia kembali. Sedang ibu-ibu lain yang piknik itu merasa kelewat singkat, dan mereka merencanakan untuk mengadakan piknik bersama lagi. Tapi jauh di hati Murni memutuskan untuk tidak lagi ikut. Dia hanya mau bepergian dengan Arif.
Dilihatnya Arif sedang bermain-main dengan kedua anaknya. Ya, bagaimana dia bisa meninggalkan itu semua sekalipun hanya untuk waktu yang teramat singkat.
“Kau senang di sana?”
“Tidak, tanpa anak-anak dan kamu.” Jawab Murni.
Arif tertawa.
Bukankah dia perempuan yang beruntung? Sedang ibunya sendiri tidak seberuntung dia. Ibunya akhirnya tahu kalau bapak punya istri lain. Dengan penuh sesal ibunyawaktu itu berkata kepadanya, “Gosip tentang perkawinan Bapakmu sudah lama. Tapi saya tidak mempedulikan. Memang pepatah lama itu benar. Kalau tidak ada api, masak ada asapnya.”
Tetapi gosip tentang Arif tidak ada selama ini. Arif selama ini bersih. Dan diam-diam Murni merasa bangga akan hal ini. Sekalipun mungkin dia tidak sepintar atausecantik Leni. Cinta Arif dan Murni berkembang manis dan mungkin paling mulus di komplek ini.
Suatu saat Leni datang lagi membawa barang-barang dagangannya. Murni menyukai sebuah daster berwarna hijau.
“Tunggu Arif saja, ya. Saya khawatir dia tidak setuju dengan pilihan saya.” Kata Murni.
“Saya kira untuk perempuan yang dicintai, tak mungkin Arif akan tidak setuju pada hal yang sepele ini.”
Ada rasa cemburu memang dalam nada ucapan Leni.
Suatu ketika, gosip beterbangan di komplek ini. Beberapa karyawan diikutsertakan dalam penataran di Jakarta. Arif termasuk di dalamnya. Tapi Arif mengajukan suatu usul yang mengherankan karyawan-karyawan dan ibu-ibu di sini. Dia mau ikut penataran asal anak dan istrinya bisa ikut serta. Oleh karena Arif tenaga yang potensial di perusahaan itu, maka permintaannya diperhatikan oleh bos di perusahaan ini. Semua ibu di komplek ini, mengeluh kepada suami mereka masing-masing bahwa mungkin mereka cuma bermimpi saja bisa mendapatkan suami yang baik seperti yang dimiliki Murni. Para suami di sini menganggap Arif sebagai seorang lelaki yang tidak mengambil kesempatan dari dunia laki-laki.
Leni memberi usul kepada Arif, karena penataran berada di Jakarta, sebaiknya Murni membenahi diri, menata rambutnya ke salon dan membeli beberapa gaun agar kelihatan sama cantiknya dengan para istri yang ada di Jakarta.
“Bagaimana dengan suamimu sendiri, Leni? Kan, dia juga ikut penataran. Kau tak ikut? Senang sekali kalau kita berdua bisa ke Jakarta,” kata Murni.
Leni merasa pahit. Dia menggeleng kuat. “Masak kamu tidak dengar gosip. Kan, saya dan dia sudahretak. Tapi sudahlah, lupakan saja. Bagaimana dengan gaun yang ini? Mau kan kamu membelinya?”
Kesibukan Murni mempersiapkan diri ke Jakarta memang luar biasa. Dan akhirnya saat keberangkatan tiba. Sekali lagi ibu-ibu di kompleks ini mengatakan kepadanya bahwa dia betul-betul memiliki lelaki yang hanya satu dalam sejuta.
Murni dan Arif jadi kaget. Rupanya dari seluruh peserta yang membawa istri cuma Arif saja. Jadi mereka mendapat kamar yang lebih besar di penginapan ini dari pada yang lain-lainnya, yang hampir semua laki-laki. Para lelaki di mess ini menganggap Arif sebagai lelaki yang ganjil. Yah, bukankah ini suatu kesempatan menjadi lelaki bujangan yang bahagia di kota metropolitan!
Melihat semua penghuni yang hampir laki-laki semua itu Murni kelihatan sedikit rikuh. Kalau Arif ikut penataran, rasa rikuhnya bertambah. Anak-anaknya tak betah tinggal di kamar. Mereka suka bergerombol di antara lelaki-lelaki dewasa. Dan seloroh lelaki itu kadang-kadang membuat Murni risih. Tapi dia tidak mau mengeluhkan itu kepada suaminya. Suaminya harus konsentrasi penuh. Arif mengatakan, dalam saat-saat seperti ini dia membutuhkan pengertian yang lebih banyak dari istrinya.
“Mungkin saya tidak bisa meperhatikan kamu atau mengawasi anak-anak,” kata Arif.
Murni terseyum. Toh ini demi kebahagiaan dia dan anak-anak juga.
Sebetulnya suaminya menganjurkannya untuk mengikuti kursus agar dirinya tak terlampau kosong di kota ini. Namun, Murni tidak pernah tega meninggalkan anak-anaknya sekalipun mess tidak jauh dari keramaian lalu-lintas. Apalagi akhir-akhir ini si bungsu kelihatan kena demam.
Suatu kali, ketika dia memanggil anak-anaknya untuk makan, didengarnya celoteh para lelaki tentang perempuan-perempuan yang begitu gampangnya dibawa oleh mereka. Dan hal ini memuakkan Murni. Buat Murni, perkawinan adalah sesuatu yang sakral. Dan cinta tak bisa dibagi-bagi atau dikotori dengan perempuan lain. Dia mendengar celoteh lelaki-lelaki itu setiap hari, dan merasa sangat muak.
Suatu kali, entah mengapa, dia merasa perlu mendebat ucapan lelaki itu.
“Saya kira kalian yang melebih-lebihkan. Tidak semua perempuan seperti halnya semua lelaki semudah itu, saya percaya.”
Beberapa lelaki yang kebetulan mendengarnya mencoba menggoda perempuan manis ini.
“Benar, Bu. Kalau saya punya istri seperti Ibu, saya pasti akan setia.” Kata salah seorang. “Tapi apakah Arif betul-betul bisa setia?”
Lantas mereka tertawa berbarengan.
Murni masuk ke kamarnya. Dan ingat ucapan Ibunya. Yah, kalau tidak ada api, masak ada asapnya. Tetapi rasanya memang naïf. Dia mencoba mereka-reka sikap Arif akhir-akhir ini. Suaminya sering pulang malam dan luar biasa rajinnya mengikuti penataran. Hampir tidak ada perhatiannya lagi kepada anak-anak. Setiap pulang penataran dia selalu mengeluh capek dan berharap bisa berkonsentrasi lagi keesokan harinya. Apakah ini bukan satu gejala?
Rasanya akhir-akhir ini suaminya dandan kelewat rapi. Tentu dia tak bisa menayakan hal itu. Tiba-tiba saja Murni menangis. Membayangkan sebuah mimpi buruk. Ketakutan yang dulu tersembuyi, mencuat kini. Bagaimana bila suaminya berubah. Rasanya dia tak mungkin hidup di luar suaminya. Dia bukan Leni yang bisa menerima realitas yang paling buruk. Hidup di luar cinta Arif adalah mimpi buruk bagi Murni. Dan adakah dia bisa hidup tanpa perasaan cinta yang sudah dibina hampir delapan tahun. Keharmonisan rumah tangga yang membuat semua orang merasa cemburu dengan keberuntungannya, karena tidak setiap orang bisa memilikinya.
Ketika suaminya datang malam itu, dia cuma bisa menangis. Arif jadi heran. Dia kepingin sekali menayakan hal itu kpada istrinya, tapi pekerjaannya begitu menumpuk sehingga cuma mengucapkan, “Kalau kamu sakit, besok ke dokter saja, Murni.”
Setelah itu Arif kembali terbenam dalam pekerjaannya.
Esoknya ketika dia terbangun, Arif sudah tak ada lagi di sampingnya. Anaknya berkata, ayahnya tadi pergi dengan terburu-buru tanpa sarapan apa pun.
Sekarang, para ibu di komplek tentu akan berbisik penuh iba tentang ketidakberuntungan dia.
Sebetulnya, ingin dia menanyai Arif tentang hal itu, tapi entah mengapa dia merasa sangat pusing sekali.
Tiba-tiba matanya tertumbuk pada obat pembasmi nyamuk. Dia ingin meminumnya, tapi dia tidak ingin meminumnya.
Tiba-tiba terdengar lengkingan kedua anaknya yang menggemparkan penghuni mess ini. Arif datang tergesa-gesa dan berteriak kuat-kuat, “Bagaimana mungkin? Saya mencintai Murni!”
Malang, 11 November 2003 -- disadur ulang drhttp://www.tabloidnova.com
Seorang ibu sambil memakan kue kecil bicara kepada Murni, “Bagaimana caranya kau bisa tahu kalau Arif jadi suamimu? Dia adalah lelaki yang sangat baik.”
Murni tersenyum rikuh.
Waktu dia gadis, Murni adalah gadis yang pemalu. Keluarganya menyangka dia tidak akan menikah. Waktu itu dia baru saja duduk di tingkat pertama sebuah perguruan tinggi, dan di sana dia berjumpa dengan Arif yang beberapa tingkat di atasnya. Ketika Arif melamar sebagai istrinya pada tahun berikutnya, dia menerima lamaran itu. Jadi tidak ada metode yang khusus untuk memilih seorang lelaki yang baik sebagai suami.
Sepulang kerja Arif lebih betah tinggal di rumah, bermain bersama anaknya. Semua tetangga di komplek ini sering bilang sangat sulit mencari lelaki seperti Arif, yang nyaris sempurna. Arif seorang lelaki yang punya garis bagus, dan posisinya tidak jelek di perusahaan ini. Sebagian dari dunia Murni adalah bersama Arif. Dia sangat terikat di sana. Beberapa tawaran kerja part time sering ditolaknya. Sepertinya, tanpa Arif, dia kehilangan keseimbangan.
Mungkin ini berlebih-lebihan. Beberapa teman dekatnya tidak pernah setuju dengan prinsipnya. Tapi, Murni merasa bahagia. Dunianya untuk Arif dan anak-anaknya. Di luar itu cuma gaung senyap, yang rasanya tidak pernah menyentuh. Yah, barangkali di sinilah dunianya yang paling pas. Setiap orang mesti punya dunia sendiri-sendiri. Kontaknya dengan dunia luar cuma lewat Arif. Lelaki ini amat mencintai dia. Dan pengetahuan ini membuat dia sangat puas.
Suatu senja yang bagus, Leni datang dengan banyak barang jualan.
“Saya sekarang coba-coba dagang, Murni, saya rasa ada gaun yang bagus buatmu. Saya kira kau pasti tambah cantik dengan gaun ini. Sesekali dandan seperti sekretaris, kan, tidak ada salahnya.”
Arif tertawa mendengar itu. Murni tampak ragu-ragu. Akhirnya Arif yang memilihkan sebuah gaun untuk Murni.
“Kamu, toh, tidak sering-sering datang kemari menawarkan daganganmu.” Kata Arif kepada Leni dengan tertawa.
“Mengapa tidak? Semua suami pasti senang istrinya jadi cantik, kan?”
Sepulang Leni, Arif berbicara kepada Murni, “Leni terlampau bijak. Untung dia bukan istri saya.”
Murni merasa sangat terpuji.
Diam-diam, kadang-kadang Murni memang tidak menyukai Leni. Tapi kadang dia merasa iba terhadap perempuan itu. Perkawinan Leni dengan suaminya retak. Terkadang retaknya perkawinan itu jadi argumentasi di komplek ini. Murni biasanya cuma diam saja. Dan para ibu itu akan bilang kepadanya, “Tak ada problem, kan, punya suami seperti Arif!”
Begitulah, sampai suatu saat para ibu di komplek ini piknik bersama tanpa suami-suami mereka. Ibu-ibu itu kelihatan sangat menikmati deburan ombak. Beberapa ibu berkata, “Betapa bahagianya dulu kala kita masih seorang gadis. Suami kadang bisa membosankan.” Kata yang lain, kelihatan ada koor setuju dengan pendapat itu.
Di tengah gelak tawa ibu-ibu itu, Murni merasa kehilangan keseimbangan. Hal itu tidak bisa dikatakan kepada yang lain. Baru dua hari di sini Murni seperti kehilangan Arif. Dia mencoba berkompensasi dengan lebih banyak berenang.
Ketika pulang ke rumah kembali, Murni merasa sebagai perempuan yang sangat bahagia kembali. Sedang ibu-ibu lain yang piknik itu merasa kelewat singkat, dan mereka merencanakan untuk mengadakan piknik bersama lagi. Tapi jauh di hati Murni memutuskan untuk tidak lagi ikut. Dia hanya mau bepergian dengan Arif.
Dilihatnya Arif sedang bermain-main dengan kedua anaknya. Ya, bagaimana dia bisa meninggalkan itu semua sekalipun hanya untuk waktu yang teramat singkat.
“Kau senang di sana?”
“Tidak, tanpa anak-anak dan kamu.” Jawab Murni.
Arif tertawa.
Bukankah dia perempuan yang beruntung? Sedang ibunya sendiri tidak seberuntung dia. Ibunya akhirnya tahu kalau bapak punya istri lain. Dengan penuh sesal ibunyawaktu itu berkata kepadanya, “Gosip tentang perkawinan Bapakmu sudah lama. Tapi saya tidak mempedulikan. Memang pepatah lama itu benar. Kalau tidak ada api, masak ada asapnya.”
Tetapi gosip tentang Arif tidak ada selama ini. Arif selama ini bersih. Dan diam-diam Murni merasa bangga akan hal ini. Sekalipun mungkin dia tidak sepintar atausecantik Leni. Cinta Arif dan Murni berkembang manis dan mungkin paling mulus di komplek ini.
Suatu saat Leni datang lagi membawa barang-barang dagangannya. Murni menyukai sebuah daster berwarna hijau.
“Tunggu Arif saja, ya. Saya khawatir dia tidak setuju dengan pilihan saya.” Kata Murni.
“Saya kira untuk perempuan yang dicintai, tak mungkin Arif akan tidak setuju pada hal yang sepele ini.”
Ada rasa cemburu memang dalam nada ucapan Leni.
Suatu ketika, gosip beterbangan di komplek ini. Beberapa karyawan diikutsertakan dalam penataran di Jakarta. Arif termasuk di dalamnya. Tapi Arif mengajukan suatu usul yang mengherankan karyawan-karyawan dan ibu-ibu di sini. Dia mau ikut penataran asal anak dan istrinya bisa ikut serta. Oleh karena Arif tenaga yang potensial di perusahaan itu, maka permintaannya diperhatikan oleh bos di perusahaan ini. Semua ibu di komplek ini, mengeluh kepada suami mereka masing-masing bahwa mungkin mereka cuma bermimpi saja bisa mendapatkan suami yang baik seperti yang dimiliki Murni. Para suami di sini menganggap Arif sebagai seorang lelaki yang tidak mengambil kesempatan dari dunia laki-laki.
Leni memberi usul kepada Arif, karena penataran berada di Jakarta, sebaiknya Murni membenahi diri, menata rambutnya ke salon dan membeli beberapa gaun agar kelihatan sama cantiknya dengan para istri yang ada di Jakarta.
“Bagaimana dengan suamimu sendiri, Leni? Kan, dia juga ikut penataran. Kau tak ikut? Senang sekali kalau kita berdua bisa ke Jakarta,” kata Murni.
Leni merasa pahit. Dia menggeleng kuat. “Masak kamu tidak dengar gosip. Kan, saya dan dia sudahretak. Tapi sudahlah, lupakan saja. Bagaimana dengan gaun yang ini? Mau kan kamu membelinya?”
Kesibukan Murni mempersiapkan diri ke Jakarta memang luar biasa. Dan akhirnya saat keberangkatan tiba. Sekali lagi ibu-ibu di kompleks ini mengatakan kepadanya bahwa dia betul-betul memiliki lelaki yang hanya satu dalam sejuta.
Murni dan Arif jadi kaget. Rupanya dari seluruh peserta yang membawa istri cuma Arif saja. Jadi mereka mendapat kamar yang lebih besar di penginapan ini dari pada yang lain-lainnya, yang hampir semua laki-laki. Para lelaki di mess ini menganggap Arif sebagai lelaki yang ganjil. Yah, bukankah ini suatu kesempatan menjadi lelaki bujangan yang bahagia di kota metropolitan!
Melihat semua penghuni yang hampir laki-laki semua itu Murni kelihatan sedikit rikuh. Kalau Arif ikut penataran, rasa rikuhnya bertambah. Anak-anaknya tak betah tinggal di kamar. Mereka suka bergerombol di antara lelaki-lelaki dewasa. Dan seloroh lelaki itu kadang-kadang membuat Murni risih. Tapi dia tidak mau mengeluhkan itu kepada suaminya. Suaminya harus konsentrasi penuh. Arif mengatakan, dalam saat-saat seperti ini dia membutuhkan pengertian yang lebih banyak dari istrinya.
“Mungkin saya tidak bisa meperhatikan kamu atau mengawasi anak-anak,” kata Arif.
Murni terseyum. Toh ini demi kebahagiaan dia dan anak-anak juga.
Sebetulnya suaminya menganjurkannya untuk mengikuti kursus agar dirinya tak terlampau kosong di kota ini. Namun, Murni tidak pernah tega meninggalkan anak-anaknya sekalipun mess tidak jauh dari keramaian lalu-lintas. Apalagi akhir-akhir ini si bungsu kelihatan kena demam.
Suatu kali, ketika dia memanggil anak-anaknya untuk makan, didengarnya celoteh para lelaki tentang perempuan-perempuan yang begitu gampangnya dibawa oleh mereka. Dan hal ini memuakkan Murni. Buat Murni, perkawinan adalah sesuatu yang sakral. Dan cinta tak bisa dibagi-bagi atau dikotori dengan perempuan lain. Dia mendengar celoteh lelaki-lelaki itu setiap hari, dan merasa sangat muak.
Suatu kali, entah mengapa, dia merasa perlu mendebat ucapan lelaki itu.
“Saya kira kalian yang melebih-lebihkan. Tidak semua perempuan seperti halnya semua lelaki semudah itu, saya percaya.”
Beberapa lelaki yang kebetulan mendengarnya mencoba menggoda perempuan manis ini.
“Benar, Bu. Kalau saya punya istri seperti Ibu, saya pasti akan setia.” Kata salah seorang. “Tapi apakah Arif betul-betul bisa setia?”
Lantas mereka tertawa berbarengan.
Murni masuk ke kamarnya. Dan ingat ucapan Ibunya. Yah, kalau tidak ada api, masak ada asapnya. Tetapi rasanya memang naïf. Dia mencoba mereka-reka sikap Arif akhir-akhir ini. Suaminya sering pulang malam dan luar biasa rajinnya mengikuti penataran. Hampir tidak ada perhatiannya lagi kepada anak-anak. Setiap pulang penataran dia selalu mengeluh capek dan berharap bisa berkonsentrasi lagi keesokan harinya. Apakah ini bukan satu gejala?
Rasanya akhir-akhir ini suaminya dandan kelewat rapi. Tentu dia tak bisa menayakan hal itu. Tiba-tiba saja Murni menangis. Membayangkan sebuah mimpi buruk. Ketakutan yang dulu tersembuyi, mencuat kini. Bagaimana bila suaminya berubah. Rasanya dia tak mungkin hidup di luar suaminya. Dia bukan Leni yang bisa menerima realitas yang paling buruk. Hidup di luar cinta Arif adalah mimpi buruk bagi Murni. Dan adakah dia bisa hidup tanpa perasaan cinta yang sudah dibina hampir delapan tahun. Keharmonisan rumah tangga yang membuat semua orang merasa cemburu dengan keberuntungannya, karena tidak setiap orang bisa memilikinya.
Ketika suaminya datang malam itu, dia cuma bisa menangis. Arif jadi heran. Dia kepingin sekali menayakan hal itu kpada istrinya, tapi pekerjaannya begitu menumpuk sehingga cuma mengucapkan, “Kalau kamu sakit, besok ke dokter saja, Murni.”
Setelah itu Arif kembali terbenam dalam pekerjaannya.
Esoknya ketika dia terbangun, Arif sudah tak ada lagi di sampingnya. Anaknya berkata, ayahnya tadi pergi dengan terburu-buru tanpa sarapan apa pun.
Sekarang, para ibu di komplek tentu akan berbisik penuh iba tentang ketidakberuntungan dia.
Sebetulnya, ingin dia menanyai Arif tentang hal itu, tapi entah mengapa dia merasa sangat pusing sekali.
Tiba-tiba matanya tertumbuk pada obat pembasmi nyamuk. Dia ingin meminumnya, tapi dia tidak ingin meminumnya.
Tiba-tiba terdengar lengkingan kedua anaknya yang menggemparkan penghuni mess ini. Arif datang tergesa-gesa dan berteriak kuat-kuat, “Bagaimana mungkin? Saya mencintai Murni!”
Malang, 11 November 2003 -- disadur ulang drhttp://www.tabloidnova.com
m
wew..
BalasHapus